Suatu saat Laura sadar, dia tak boleh larut dalam kesedihan, dia perlu bangkit dan mengerjakan sesuatu yang menyenangkan untuk mengisi hari-harinya. Maklum, dua anak perempuannya sudah remaja.
Ide itu datang dari adik Laura. Ketika mereka berdua tengah menonton pertandingan football, Cincinnati Bengals. Adiknya melontarkan usulan kepada Laura, mengapa kamu tidak jadi Cheerleader (pemandu sorak) saja.
Tiga tahun kemudian, Laura mewujudkan ide itu. Di usia 42 tahun dia menjadi cheerleader. Laura tercatatcheerleader paling tua di liga football Amerika Serikat. “Sampai sekarang aku masih tak percaya,” katanya.
Untuk menjadi cheerleader, Laura perlu perjuangan keras. Dia sempat ditolak pada audisi pertama. “Aku merasa terintimidasi, semua usianya lebih muda 20 tahun dariku,” kata Laura.
Tahun berikutnya, Laura kembali ikut audisi. Setelah berlatih keras, dia berhasil mengalahkan ratusan calon yang usianya jauh lebih muda. Dia terpilih menjadi cheerleader Cincinati Bengals.
Keluarga Laura mendukung apa yang dilakukannya. “Awalnya mereka tak menyangka, mereka hanya bilang, itu menarik untuk dicoba,” katanya. “Tapi begitu aku terpilih mereka menangis.”
New Line Cinema, rumah produksi yang membuat film The Hobbit, Sex and The City, tertarik mengangkat kisah ini ke layar lebar. “Ini kisah yang menarik, dia bangkit dan menemukan dirinya lagi,” kata penulis naskah, Emily Cook.
0 komentar:
Posting Komentar