Jantungnya bergedup kencang. Keringat mengalir deras. Tubuhnya panas. Napasnya pun seolah berhenti mendadak. Emily Day, 26, selalu mengalami serangan panik akut ini setiap kali berhadapan dengan pria. Bahkan, sekadar menghadapi pria pengantar parsel pun ia tak sanggup.
Dokter mendiagnosisnya mengidap androphobia, gangguan kejiwaan yang ditandai dengan ketakutan berlebihan terhadap lawan jenis. “Saya bukan lesbi. Saya bisa tertarik melihat foto pria tampan, tapi saya sungguh takut berhadapan langsung dengan pria,” katanya seperti dikutip The Sun.
Pengidap fobia ini umumnya memiliki trauma atau pernah menjadi korban kekerasan pria. Namun, trauma itu tak pernah terjadi pada Emily. Yang mungkin berperan mengembangkan gangguan kejiwaannya adalah perceraian ayah dan ibunya. “Mereka bercerai ketika saya berumur enam tahun. Sejak itu saya tak pernah melihat ayah lagi.”
Emily menyadari ketakutan yang mungkin sangat tak rasional ini sejak kecil. Ia tak bisa melupakan serangan panik yang muncul saat ia membukakan pintu seorang pria yang bertugas mengantar parcel. Tubuhnya terbaring lemas. Saudaranya berpikir ia terserang demam. “Efek fobia biasanya baru hilang setelah 10 menit sampai satu jam.”
Selain menghindari membuka pintu rumah saat ada yang mengetuk, ia juga harus memastikan tak bertemu ayah temannya saat datang berkunjung. “Saya tidak pernah memiliki kekasih. Saya sangat ketakutan menghadapi pria,” ujarnya. “Saya sangat sadar banyak orang yang mungkin melihat saya aneh.”
Ia sempat frustasi menghadapi kondisinya. Setelah mengetahui penyakitnya, ia mulai menjalani konseling psikologis. Selain terapi psikologis, ia juga mengikuti program pelatihan pernapasan untuk membantunya mengendalikan diri saat serangan muncul.
Bekerja sebagai asisten konsultan, Emely terus berjuang melawan fobia itu. “Saya berharap suatu saat bertemu dengan pria yang bisa membantu saya melawan sakit ini. Pria yang bisa saya nikahi dan membuat saya hamil,” ujarnya.
Dokter mendiagnosisnya mengidap androphobia, gangguan kejiwaan yang ditandai dengan ketakutan berlebihan terhadap lawan jenis. “Saya bukan lesbi. Saya bisa tertarik melihat foto pria tampan, tapi saya sungguh takut berhadapan langsung dengan pria,” katanya seperti dikutip The Sun.
Pengidap fobia ini umumnya memiliki trauma atau pernah menjadi korban kekerasan pria. Namun, trauma itu tak pernah terjadi pada Emily. Yang mungkin berperan mengembangkan gangguan kejiwaannya adalah perceraian ayah dan ibunya. “Mereka bercerai ketika saya berumur enam tahun. Sejak itu saya tak pernah melihat ayah lagi.”
Emily menyadari ketakutan yang mungkin sangat tak rasional ini sejak kecil. Ia tak bisa melupakan serangan panik yang muncul saat ia membukakan pintu seorang pria yang bertugas mengantar parcel. Tubuhnya terbaring lemas. Saudaranya berpikir ia terserang demam. “Efek fobia biasanya baru hilang setelah 10 menit sampai satu jam.”
Selain menghindari membuka pintu rumah saat ada yang mengetuk, ia juga harus memastikan tak bertemu ayah temannya saat datang berkunjung. “Saya tidak pernah memiliki kekasih. Saya sangat ketakutan menghadapi pria,” ujarnya. “Saya sangat sadar banyak orang yang mungkin melihat saya aneh.”
Ia sempat frustasi menghadapi kondisinya. Setelah mengetahui penyakitnya, ia mulai menjalani konseling psikologis. Selain terapi psikologis, ia juga mengikuti program pelatihan pernapasan untuk membantunya mengendalikan diri saat serangan muncul.
Bekerja sebagai asisten konsultan, Emely terus berjuang melawan fobia itu. “Saya berharap suatu saat bertemu dengan pria yang bisa membantu saya melawan sakit ini. Pria yang bisa saya nikahi dan membuat saya hamil,” ujarnya.
0 komentar:
Posting Komentar